Di tengah krisis kemanusiaan yang semakin memburuk di Gaza, dengan lebih dari 50.000 jiwa melayang dan jutaan lainnya terusir dari rumah, warga Makassar memilih tidak diam. Aksi damai bertajuk “Indonesia Menyala untuk Palestina” menjadi ruang bersama, tempat keprihatinan berubah menjadi tindakan reflektif, hening, namun menggugah.
Tak ada orasi, tak ada keributan. Hanya keheningan yang bertenaga.
Dengan mengenakan pakaian serba hitam dan membawa atribut Palestina seperti keffiyeh, scarf, bendera Palestina, stiker, hingga buah semangka sebagai simbolik perjuangan, peserta dari berbagai latar belakang—agama, profesi, dan usia—berdiri bersama dalam keheningan. Aksi dibuka dengan doa lintas iman dari perwakilan tiga komunitas agama: Kristen, Katolik, Islam. Kemudian, Therry Alghifary, Presidum Aliansi Perdamaian, mengajak peserta menyalakan lilin-lilin di tangan peserta aksi, juga lilin-lilin kecil membentuk kata "GAZA" di jalan raya depan Monumen Mandala. Selama setidaknya sepuluh menit, tangan-tangan ratusan peserta terangkat di udara, berusaha menggugah kesadaran orang-orang yang lalu lalang di jalan raya. Meski penderitaan dan perjuangan masyarakat Palestina ribuan kilometer jauhnya, mereka yang hadir menyuarakan dalam diam: kita tidak akan berhenti membicarakan Palestina dan mendesak perdamaian terjadi! Kepedulian terhadap situasi genosida di Palestina juga terasa pada pembacaan puisi oleh tiga perwakilan komunitas. Kata-kata lirih mereka, di tengah deru ramai jalanan, menyuarakan harapan-harapan kecil yang tumbuh di tengah puing-puing.
Aksi ini tak hanya berlangsung di satu tempat. Melalui “Aksi Sunyi Online”, mereka yang tidak sempat hadir langsung diajak membanjiri media sosial dengan tagar #IndonesiaMenyalaUntukPalestina. Dukungan tidak mengenal batas ruang. Aksi ini menjadi bukti nyata bahwa setiap orang bisa mengambil bagian, sekecil apa pun, dalam perjuangan kemanusiaan.
Lebih dari sekadar agenda seremonial, aksi ini memiliki tujuan jelas: membangun kesadaran, menyampaikan pesan damai, dan membuktikan bahwa empati bisa menjadi alat perjuangan yang ampuh. Gelombang solidaritas ini diharapkan terus bergulir—menginspirasi kota-kota lain untuk mengadakan aksi serupa.
Komunitas memiliki peran vital dalam menjaga nyala solidaritas ini. Entah itu dengan menyelenggarakan diskusi, penggalangan dana, aksi doa bersama, atau hanya dengan tidak membiarkan isu ini menghilang dari percakapan harian. Karena perdamaian bukanlah tugas satu negara, melainkan tanggung jawab kolektif umat manusia.
Jika satu lilin bisa membawa terang, bayangkan apa yang bisa dilakukan seribu lilin. Jika satu suara bisa menyentuh hati, bayangkan apa yang bisa dilakukan ketika komunitas bersatu. Mari terus menyalakan harapan—dari Makassar, dari rumah kita, dari hati kita. Untuk Palestina. Untuk kemanusiaan.
*artikel diproduksi dengan bantuan AI dan disunting kembali sesuai dengan rangkaian aktivitas