Kampus Tangguh
Makassar adalah pusat aktivitas di Indonesia Timur, tetapi di sisi lain juga terkenal dengan kasus kekerasannya. Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan Indonesia (2015) menunjukkan bahwa Sulawesi Selatan memiliki indeks kekerasan tertinggi untuk konflik kekerasan berbasis identitas, dengan Makassar sebagai kontributor terbesar. Beberapa contoh konflik, antara lain, konflik antar kelompok mahasiswa,kelompo etnis atau kedaerahan, dan konflik kekerasan antar domisili. Setara Institute (2020) juga menyatakan bahwa Makassar termasuk ke dalam sepuluh kota intoleran di Indonesia. Kasus kekerasan ini mencapai klimaks pada 2021 ketika terjadi bom bunuh diri di Katedral, seminggu sebelum Paskah (Kompas, 2021). Kecenderungan menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan konflik menjadi penyebab utama tingginya kasus kekerasan. Kecenderungan ini terjadi bahwa di ruang-ruang pendidikan, termasuk universitas.
KITA Bhinneka dan Center for Peace, Conflict and Democracy (CPCD) Kampus Tangguh berkolaborasi
untuk menjawab tantangan tersebut dengan menghadirkan Kampus Tangguh.
untuk menjawab tantangan tersebut dengan menghadirkan Kampus Tangguh.
Sulawesi Selatan menduduki intensitas kekerasan identitas yang tertinggi selama tahun 2014. Periode September-Desember 2014 menunjukkan kekerasan antar kelompok paling sering terjadi Sulawesi Selatan secara berurutan yaitu di Kota Makassar, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten palopo, dan Kabupaten Luwu*. Terdapat tiga bentuk konflik kekerasan antar kelompok yang dominan terjadi di Kota Makassar yaitu, konflik kekerasan antar kelompok mahasiswa, konflik kekerasan antar kelompok suku atau identitas kedaerahan, konflik kekerasan antar kelompok domisili tempat tinggal** .Tingginya angka kekerasan di perguruan tinggi dapat dilihat pada beberapa kasus di tahun 2022. Ada dua orang mahasiswa yang dilaporkan meninggal saat pengkaderan mahasiswa di Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan Universitas Hasanuddin dan juga ada empat kasus tawuran antar kelompok di empat universitas yaitu Universitas Hasanuddin, Universitas Negeri Makassar, STIMIK, Universitas Islam Negeri Alauddin.
Menjawab fenomena tersebut, program Kampus Tangguh akan memfokuskan pada dua bentuk kekerasan yang terjadi di kampus-kampus yaitu pengaderan mahasiswa yang menggunakan kekerasan dan tawuran antar kelompok mahasiswa. Objektif Kampus Tangguh adalah berkurangnya intensitas perilaku kekerasan pada mahasiswa di kampus-kampus yang ada di Kota Makassar (tawuran antar kelompok dan pengaderan mahasiswa).
Rangkaian kegiatan Kampus Tangguh diawali dengan Peace and Democracy Colloquium (31/5/23) bertempat di Aula Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Universitas Hasanuddin. Narasumber yang hadir membawakan tiga perspektif berbeda dalam melihat kekerasan pada tawuran dan pengaderan, terdiri dari Therry Alghifary—Direktur KITA Bhinneka Tunggal Ika, Dr. Ichlas Nanang Afandi—Dosen Psikologi Universitas Hasanuddin, dan Profesor Halilintar Lathief—peneliti dan budayawan Sulawesi Selatan.
Therry Alghifary—Direktur KITA Bhinneka Tunggal Ika
Dr. Ichlas Nanang Afandi—Dosen Psikologi Universitas Hasanuddin
Konflik Identitas Dalam Kekerasan Mahasiswa
Therry Alghifary mengkaji kekerasan tawuran dan pengaderan yang terjadi di universitas dengan dua dimensi kebudayaan Geert Hofstede, seorang psikolog sosial, yakni budaya kolektif dan individualis. Berdasarkan penelitian Hofstede, Indonesia memiliki budaya kolektif yang tinggi. Salah satu manifestasi budaya kolektif adalah pengaruh kedudukan dalam masyarakat (power distance), yang menurun pada perilaku seperti menghormati orang yang lebih tua, memprioritaskan keluarga. Bahkan makna keluarga sendiri meluas, tidak hanya keluarga inti, tetapi juga termasuk anggota organisasi yang sama. Misalnya mahasiswa yang berasal dari daerah yang sama dan masuk ke dalam organda sudah dianggap sebagai keluarga.
Bagaimana budaya kolektif yang tinggi berkontribusi terhadap konflik kekerasan antar kelompok mahasiswa? Konflik berawal dari ketersinggungan atribut identitas kelompok. Misalnya jika terjadi sesuatu pada satu anggota kelompok, tidak hanya menjadi masalah individu, tetapi juga seluruh kelompok. Tawuran mahasiswa kerap berawal dari konflik perorangan yang penyelesaiannya melibatkan keterlibatan seluruh kelompok. Atribut lainnya seperti area organisasi di kampus. Jika ada pihak lain yang masuk ke wilayah organisasi tertentu dianggap memantik keributan dan bisa berujung konflik antar kelompok. Pada kasus-kasus seperti ini masalahnya bukan lagi ada pada perseorangan, tetapi pada identitas kolektif.
Dari perspektif ini, solusinya adalah membangun nilai kekitaan (we-ness), tidak menonjolkan identitas kelompok atau individu, melainkan fokus pada identitas bersama yang menyatukan semua keberagaman tersebut.
Penelitian selengkapnya dapat dilihat pada dokumen ini.
Kekerasan dari Kacamata Psikologi
Dr. Ichlas Nanang Afandi menguatkan perspektif tentang identitas dan konflik dari kacamata psikologi. Pada dasarnya, manusia akan lebih berani atau agresif saat berada dalam kelompok sehingga akan lebih banyak konflik yang muncul. Saat berada di dalam kelompok, seseorang akan memfavoritkan kelompoknya secara naluriah (in-group favouritism) dan memiliki bias terhadap orang-orang di luar kelompok (outgroup). Dikotomi inilah yang kemudian menjadi identitas. Dari kacamata realistic conflict theory, kelompok-kelompok mahasiswa di dalam kampus juga rentan mengalami konflik karena adanya sesuatu yang nyata diperebutkan oleh pihak yang berselisih, terutama akibat keterbatasan sumber daya baik berwujud maupun tidak berwujud (seperti kekuasaan, status sosial). Teknologi dan perputaran informasi yang cepat, penyebaran informasi hoaks, bisa berpotensi memicu sikap agresif dan kecurigaan antar kelompok.
Dosen Psikologi Universitas Hasanuddin ini kemudian menawarkan beberapa resolusi. Secara individu, setiap orang perlu memiliki kontrol diri yang baik dan kemampuan komunikasi. Dari sisi relasional, kita perlu merekategorisasi atau mengubah perspektif dari 'kami' menjadi 'kita'. Memiliki tujuan bersama juga menjadi penting untuk menyatukan keberagaman antar kelompok.
Kritis Atas Tradisi Saat Ini
Profesor Halilintar memberikan konteks politik, ekonomi, budaya atas fenomena kekerasan yang terjadi terhadap mahasiswa di universitas. Secara reformasi, banyak praktik intervensi yang dilakukan terhadap mahasiswa, seperti aktivitas yang difokuskan pada pendanaan. Secara budaya, pengaderan juga bisa dikaji kembali terkait alasan dan tujuan mengapa aktivitas tersebut dilakukan.
Budayawan Sulawesi Selatan ini kemudian menawarkan beberapa solusi seperti, membuat serambi kampus, menghidupkan kembali kolaborasi antarkampus dan pejabat luar kampus, dan mengaktifkan kembali mimbar bebas.
Profesor Halilintar Lathief
Catatan Kaki:
*Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) The Habibie Center. (2015). Indeks Intensitas Kekekrasan 2015, Jakarta: SNPK-THC 2014
**Anatomi Kekerasan Mahasiswa di Kota Makassar. Jurnal Review Politik Volume 03. No. 01, Juni 2013. Surabaya: Universitas Airlangga Surabaya