Untold Story

Hmmm, jujur saya tidak tahu ingin membuka tulisan ini dengan kalimat apa. Tugas saya ialah bercerita tentang perubahan yang dirasakan selama bergabung di KITA Bhinneka Tunggal Ika. Barangkali ini juga sebagai evaluasi diri, adakah dari ilmu-ilmu yang didapat selama PLC itu diamal(?)kan dalam kehidupan sehari-hari? Hmmmmm. 

Sebenarnya saya ingin menulis (salah satunya) bahwa saya lebih bisa mengontrol emosi sekarang. Tetapi beberapa hari yang lalu, saya malah bertengkar dengan adik karena tidak tahan untuk tidak membalas emosinya haha. Jadi, perubahan yang mau saya sampaikan di bawah ini mungkin sepele, tapi entah mengapa rasanya kok betul-betul berubah (eh) dari diri saya. Sampai-sampai saya juga sering bertanya-tanya, kenapa ya? 

Berikut cerita perubahan saya dan hipotesis penyebabnya: [Demi kenyamanan bercerita, izinkan saya memakai bahasa yang sedikit santai(?) menggunakan kata “aku”, alih-alih “saya”, dan maaf sebelumnya jika ada kata yang kurang sopan dari seseorang (saya) kepada orang yang lebih tua darinya (emotikon perempuan sedikit membungkuk)] 


1. WhatsApp Group Angkatan 

Mungkin aku pernah bercerita bahwa di kampus, aku bukanlah orang yang didengar suaranya alias tidak memiliki pengaruh cukup besar di angkatan. Aku juga bisa dibilang tidak punya banyak teman, dan (entah sengaja atau secara alamiah) tidak menjalin keakraban dengan orang-orang yang masih mendukung kultur perpeloncoan dan kekerasan di Teknik. Dan mau tahu apa yang buruk? Para otoritas angkatanku didominasi oleh orang-orang seperti itu. Termasuk di grup WA.

 Kami sering bercanda dengan statement seperti ini, di kampus (teknik) itu ada mahasiswa— yang jarang berpartisipasi di kegiatan himpunan, entah itu karena sibuk belajar, beraktivitas di luar kampus, atau yang tidak kelihatan alasannya. Sederhananya disebut kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang). Satunya lagi disebut “anak”: aktif di himpunan, pokoknya yang kuliahnya lebih untuk berorganisasi ketimbang belajar di kelas. Nah biasanya yang muncul di WAG angkatan itu ialah anak. Bercanda, mengajak ke perkumpulan tertentu, membahas arahan senior, dan sebagainya. Adapun mahasiswa muncul palingan untuk menanyakan jadwal, atau apapunlah yang berkaitan dengan mata kuliah (kecuali untuk menanyakan ada tugas atau tidak, kedua kubu mendominasi). 

Aku sudah pasti bukan kategori anak teknik, namun tidak seratus persen juga masuk di mahasiswa. Alhasil bisa dibilang aku jarang sekaliii muncul di WAG. Pun kalau mau bertanya tugas, pasti lari ke personal chat. Hmm, mungkin karena aku merasa bukan bagian dari mereka, tidak sefrekuensi dengan mereka, sehingga betul-betul interaksi kami hanya seadanya, itupun ketika di kelas.

 Namun, semenjak bergabung dengan KITA (hiyya, sepertinya kalimat ini akan sering muncul :v), awalnya sesekali muncul untuk menjawab pertanyaan teman atau merespon hal lucu yang dibahas di sana, lama-lama sudah berani bertanya, share informasi menarik, bahkan beberapa kali sebar pamflet Dialog Damai juga. Haha, entah apa yang merasukiku. Sekarang sudah tidak merasa terbebani lagi untuk muncul di grup. Meskipun tetap ada filter, barangkali yang kuposting itu tidak bermanfaat bagi mereka, atau hanya menambah kegaringan saja. Karena ini hipotesis, apakah mungkin karena aku sudah menerima diriku sepenuhnya? Memahami bahwa kita punya interest yang berbeda, dan seharusnya tidak usah malu untuk menunjukkan itu. Lagipula, jangan-jangan selama ini hanya aku yang merasa terintimidasi. Haha, jadi secara tidak langsung juga sekarang lebih meminimalisir pikiran negatif bahwa aku dibenci, tidak disukai, dan sejenisnya. 


2. “Terima Kasih” dan “Wkwkwk” 

Masih tentang interaksiku di dunia maya. Kalau tadi di WAG, ini lebih ke semua orang yang bercakap-cakap denganku di media sosial. Dua frasa di atas adalah yang menurutku semenjak bergabung di KITA sering kukirimkan ke orang-orang sebagai balasan pesan. 

Pertama, terima kasih. Ketahuilah gaes, bahwa awalnya aku adalah orang yang sangat frontal. Beberapa kali mengerjakan project (baca: lomba KTI) sebagai ketua tim yang notabenenya harus memeriksa bagian/pekerjaan anggota tim. Dan yah, kata-kata yang keluar pertama kali memang selalu yang menjurus ke “kekeliruan” dari mereka, ketimbang mengucap terima kasih atas pekerjaan tersebut yang barangkali sudah dikerjakan sepenuh hati. Awalnya kupikir bagus, hmm semacam melatih mental? Haha, karena dulu ketika SMA, pembina KIR (Kelompok Ilmiah Remaja)-ku juga sistemnya begitu: kritik sampai babak belur. 

Tapi oh tapi, aku pernah bertengkar hebat dengan salah satu anggota tim karena ini. Dia bilang aku tidak menghargai karyanya, sementara menurutku sendiri, dia terlalu menganggap enteng sehingga sesuatu yang tidak seharusnya salah, dibuat tidak benar juga. Dan yah, aku kemudian menyadari bahwa I was wrong. 

Sampai sekarang pun masih agak minder dengan kakak-kakak di KITA, yang meskipun suatu pekerjaan itu (dari kacamataku) terbilang buruk, ada-ada saja yang bisa diapresiasi. 

Sejujurnya ini tentang waktu aku menjadi moderator di PLC dan Dialog Damai. Rasanya malu sekali karena membuat banyak kesalahan. Tapi apa yang kusebut kritik sampai babak belur itu sama sekali tidak dikenal di KITA. Bahkan kritik yang menghasilkan memar sedikit pun tidak. Mereka selalu saja mengapresiasi dan itu benar-benar bukan style-ku dalam bekerja tim, dulu.. Sekarang (alhamdulillah) mulai belajar untuk terus mengapresiasi, apresiasi, apresiasi, baru kemudian disampaikan kritik dan sarannya dengan cara yang baik hehe. Ya kan siapa tahu ada orang yang akan sakit hati, tidak lagi semangat bekerja, atau merasa down karena kritikkritik pedas semacam babak belur itu. Dan bodohnya aku tidak menghiraukan akibat ini kemarin-kemarin. Huhu, maafkan.. 

Adapun wkwkwk, hmm dulunya aku menganggap jenis ketawa seperti ini terlalu lebay ketimbang hahaha atau hehehe, sehingga sangat jarang kupakai. Tapi entah kenapa—serius aku juga penasaran, sekarang tidak lagi. Ya kalau memang lucu sekali, pakai ketawa yang ngakak juga dong, tidak malu dibilangi sok akrab, tidak lagi jaga image, dan lebih ke berusaha membangun suasana friendly dalam percakapan. Ini khususnya bagi orang-orang yang tidak terlalu akrab, atau misalnya yang dari kalangan anak teknik tadi hahaha. 


3. “Terima sajalah, Wi” 

Perubahan ketiga yang kualami selama bergabung di KITA (tuh, kan) ialah, rasanya setiap masalah yang datang kini kutanggapi dengan lebih enteng dari biasanya. Kalau itu dari diriku (misal karena menunda-nunda, ceroboh, dsb), aku selalu menerimanya sebagai konsekuensi alih-alih masalah itu sendiri. Dan kalau datangnya (masalah itu) dari hal-hal yang tidak bisa kukendalikan, aku selalu bilang, “terima sajalah, Wi,” sambil mengelus-elus dada :v. 

Iya. Aku mungkin masih harus belajar untuk mengendalikan emosi. Tapi untuk ketimpaan masalah, aku berpikir toh selalu ada hal yang bisa disyukuri apapun pemberian Tuhan itu. Ujian yang batal kendati aku sudah belajar, hujan terus-menerus sehingga cucianku tidak kering, kompetisi menulis yang tidak juara, pokoklah diterima sajalah. Lantas percaya, bahwa keputusan itu adalah yang terbaik, manusia saja yang terbatas penglihatannya untuk mengetahui hal-hal baik dari sesuatu yang dia anggap masalah itu. Semoga pikiran seperti ini betah, selama aku masih diberi kehidupan oleh Tuhan, yang selama itu juga masalah pasti akan terus hadir. 

Selain itu, akhir-akhir ini juga jarang sekali menulis diary (bahkan tidak pernah). Padahal itu adalah tradisi sejak kelas enam SD, untuk menuliskan keluh-kesahku akan kehidupan (yang sebenarnya tidak juga kelam) ini. Biasanya hal buruk, baik, dan memalukan selalu kutulis di buku harian. Itu supaya rasa sesaknya tersalurkan saja.. 

Tapi sekarang (semenjak 2020 barangkali) benar-benar tidak pernah mengisi diary lagi, meskipun beberapa kali meniatkannya. Kalau ada kejadian buruk, baik, atau memalukan itu—bukannya menulis diary, aku lebih ke menceritakannya langsung kepada teman yang kupercaya. Entahlah, apakah ini pengaruh iklim (?) di KITA yang selalu mengajak berbagi cerita atau memang karena sudah tidak terbiasa menulis panjang selain di Microsoft Word :v. 

Intinya itu, aku menjadi sedikit lebih terbuka, dibandingkan dulu, di mana satu-satunya cerita yang nyaman diceritakan ke teman itu, hanya tentang crush boy hahaha. Kalaupun ada uneg-uneg yang ingin sekali kubagi namun tidak sempat, biasanya akan tersirat di refleksi PLC yang kutulis. Atau sebaliknya, dari suatu materi PLC, aku merefleksikannya terhadap cerita atau pengalaman yang selama ini tidak kubagi dengan orang lain. Yang sekiranya tidak kukeluarkan, akan terus ada dendam atau amarah yang bersemayam bersama kisahnya. Ah, over all, sekali lagi aku menyatakan bersyukur diberi kesempatan mengenal dan terlibat di KITA Bhinneka Tunggal Ika, meskipun keterlibatanku tidak penting-penting amet wkwk. Mungkin masih ada perubahan-perubahan kecil lain dariku, namun belum terdeteksi. Entahlah. Karena kalau menunggu sampai terpikirkan semua, mungkin tulisan ini masuknya akan sangat terlambat. Yang ingin kukatakan ialah, insyaallah perubahannya membawa ke arah yang positif kok. Apalagi kepadaku yang masih harus belajar banyak tentang bersikap di kehidupan sosial ini.. Semangat terus kakak-kakak KITA Bhinneka Tunggal Ika dalam setiap misinya menuju perdamaian positif, dan selamat, ada satu lagi jiwa yang yang berhasil kautanam benih perdamaian di dalamnya. Bantulah ia agar benih itu bisa tumbuh dengan baik, berbuah manis, sehingga bisa ia bagi juga kepada orang lain. 

Sekian. Terima kasih sudah membaca sampai di sini :