Saat pertama kali mendengar kabar terpilih menjadi finalis Muda 30, perasaan yang muncul justru campur aduk. Ada rasa senang, tapi juga penuh pertanyaan: “Apa alasanku bisa ada di sini?” Di tengah deretan finalis yang mayoritas founder atau co-founder, aku merasa kecil—seperti bukan siapa-siapa. Namun, sebuah refleksi bersama Ka Vassilisa dan Ka Therry membuatku kembali menemukan pijakan. Bahwa kehadiranku bukan sekadar individu, tapi membawa misi KITA Bhinneka untuk membuka peluang jejaring lintas komunitas, organisasi, dan sektor. Sejak itu, aku belajar menerima bahwa setiap peran punya arti, sekecil apa pun.
Dari proses onboarding hingga sesi bersama mentor, aku merasakan betul bahwa program ini bukan hanya wadah belajar, tapi juga ruang kolaborasi. Diskusi tentang collaborative governance, stakeholder engagement, hingga finding funding membuka mataku bahwa perubahan tidak pernah dikerjakan sendiri, melainkan bersama. Nilai kolaboratif ini yang kemudian terbawa dalam perjalanan mengerjakan proyek.
Bergabung di tim Lawu Tambora dengan tema inklusi sosial menjadi pengalaman yang sangat berharga. Aku mendapatkan amanah sebagai tim acara—menyusun konsep kegiatan, menurunkan ide menjadi rangkaian acara, hingga merancang strategi pelaksanaan. Dari situ aku benar-benar melatih planning & organizing sekaligus mengasah kemampuan untuk leading living value: memimpin dengan nilai, bukan sekadar mengatur.
Proses kerja tim mengajarkanku pentingnya komunikasi yang hangat dan terbuka. Kami saling membackup ketika ada yang sibuk, saling menguatkan ketika ada yang lelah. Justru dari situ aku belajar bahwa kepemimpinan bukan soal siapa yang paling menonjol, melainkan siapa yang bisa menjaga agar orang lain tetap merasa bagian dari perjalanan. Di sinilah aku merasa keterampilan komunikatif dan facilitating change benar-benar tumbuh—mendorong perubahan kecil melalui ruang percakapan, musyawarah, dan aksi kolektif.
Puncaknya, saat Townhall Muda terlaksana di Yogyakarta, aku merasakan arti “gotong royong” yang sesungguhnya. Proyek ini tidak hanya menjadi kegiatan bersama, tetapi juga ruang untuk merasakan keluarga baru, jejaring baru, dan keyakinan bahwa perubahan bisa lahir dari keberagaman cara pandang dan kekuatan kolaborasi.
Dari perjalanan ini, aku pulang dengan satu kesadaran: menjadi bagian dari finalis Muda 30 bukan tentang siapa aku dibandingkan yang lain, melainkan tentang bagaimana aku mau terus belajar, berkolaborasi, dan menghidupi nilai-nilai yang aku temukan sepanjang proses ini.
Kolaborasi apalagi yang akan kita laksanakan? ditunggu!