Sesi PLC kali ini yang dibawakan oleh Kak @therryalghifary dibuka dengan membahas filsafat. Materi ini berhasil membangunkan memori masa lalu saya saat menjalani hidup selama 4 tahun di lembaga internal kampus. Hampir tiap saat kami membahas filsafat ilmu yang diaplikasikan pada Budaya Ilmiah : membaca, menulis, berdiskusi. Pada saat itu kesadaran saya akan budaya ilmiah tidak sebesar saat ini. Jadi mungkin saya melaluinya tanpa menjiwainya. Namun saya bersyukur, karena saya hari ini adalah saya di masa lalu, saat ini saya sadar, ternyata paradigma saya hari ini terbentuk sedari saya menjalani kehidupan di lembaga internal kampus, terimakasih senior. Respect.
Philosophy (Filsafat) terdiri atas dua kata, philo : cinta, dan sophia : kebijaksanaan. Simpelnya, kecintaan terhadap kebijaksanaan. Kebijaksanaan itu muncul ketika kita cenderung ingin memahami segala sesuatu, memikirkan sebab akibatnya, berpikir kritis dan rasional, akhirnya kita akan lebih bijak memandang segala sesuatu yang terjadi. Hal itu akan membawa kita ke kebijaksanaan sejati bahwa semakin banyak kita tahu sesuatu, semakin kita tahu bahwa kita tidak mengetahui apa-apa.
Dulunya, filsafat ini adalah ibu dari semua ilmu pengetahuan, dia menjadi akar dari ilmu pengetahuan. Namun kini, filsafat dipisahkan dari ilmu lain, keluar dari fitrahnya, sehingga ketika kita mencoba untuk berfilsafat, menanyakan segala sesuatu yang orang awam tidak menanyakannya, maka siap-siap saja kita dianggap aneh dan mungkin sedikit menjengkelkan.
Seperti pada pertanyaan, apa itu roh? Apa bedanya roh dan jiwa? Siapa itu Anti? Apakah Anti itu raganya, atau jiwanya, ataukah rohnya? Bayangkan ketika kita telah menjawabnya namun si penanya tetap mencecar kita dengan pertanyaan yang berulang-ulang. Kan jengkel. Namun, tanpa menjawab itu, mungkin kita tidak mengetahui siapa diri kita sendiri. Antii yang mana yang dikenal orang-orang, apakah raganya atau jiwanya. Pertanyaan itu berlarut-larut pada sesi PLC saat itu.
Tentang pertanyaan siapa saya, jiwa, raga, ataukah roh, saya mengambil referensi agama islam pada hadist Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bahwa roh ditiupkan kedalam janin ketika sudah berumur 4 bulan dan ditetapkan 4 perkara terhadapnya, menetapkan rizki, ajal, amal dan celaka/bahagianya. Artinya, roh ini yang membuat kita hidup. Namun apakah setelah mati, kita masih tetap dikenal orang? Iya kan yah. Memori tentang kita masih tertanam di benak sebagian orang. Ketika mati, roh dan raga sudah tak bersama kita. Disitu saya berkesimpulan, saya dikenal melalui jiwa saya. Sebagaimana jiwa kita juga yang akan bertanggungjawab di hari kemudian. Maka dari itu, jiwa itu perlu dididik karena jiwa diberikan kebebasan oleh Tuhan untuk memilih pilihan yang baik/buruk selama kita hidup. Karenanya, manusia dikaruniai akal.
Sebelum mendidik jiwa, kita kenali dulu sifat-sifat pada jiwa. Ternyata, jiwa manusia tidak pernah merasa cukup. Jiwa bisa saja dikendalikan/tidak dikendalikan oleh nafsu. Jiwa juga butuh dilatih, seperti halnya raga.
Dalam tubuh manusia ada 3 bagian yang memiliki fungsi jiwa tersendiri. Dikenal dengan istilah 3 gerak jiwa.
1. Ephitomea, dikenal dengan kelas ekonomi. Terletak di bagian perut/diafragma kebawah yang terkait dengan makan, seks, gerak ekonomi.
2. Thumos, dikenal dengan kelas tentara. Terletak dibagian tengah, dada yang terkait dengan rasa solidaritas, harga diri, cinta.
3. Logisticon, dikenal dengan kelas pemikir. Terletak dibagian kepala yang terkait dengan memikirkan hukum, pengetahuan, dan kebijakan.
Agar 3 gerak jiwa tersebut seimbang atau mencapai equilibrium, maka diperlukan adanya kesadaran tentang
1. Ugahari (kesederhanaan), kesadaran untuk tidak berlebih-lebihan. Pengendali untuk gerak Ephitomea.
2. Courage, kesadaran untuk berlaku benar dengan cara yang benar. Pengendali untuk gerak Thumos
3. Wisdom, kesadaran untuk berpikir bijak yang akan membuat kita humble dan lebih memahami orang lain. Pengendali untuk gerak Logisticon