Mendefinisikan cinta memang tidak mudah. Apa itu cinta? apakah peduli? rela berkorban? saling menerima? menghargai? Lalu mengapa harus ada kata cinta jika bisa dibahasakan oleh kata lain? atau apa yang mengindikatorinya sehingga bisa disebut cinta? Kapan kita dikatakan mencintai?
Ketika kita merindu. Iya, rindu adalah indikatornya. Dalam setiap hal yang mengatasnamakan cinta, adakah yang tidak melibatkan rindu? Semakin besar rindu, semakin besar pula rasa cinta itu. Ketika rindu telah dituntaskan (telah bertemu) maka kita akan memberikan usaha terbaik saat itu, misalnya respect, rela berkorban, dkk. Oleh karena itu, saya menyebut cinta sebagai kesadaran tertinggi dalam berbuat baik.
Namun, banyak orang yang gagal dalam mengekspresikan cinta. Kegagalan itu seringkali menyebabkan ketidamaian. Untuk menggambarkannya, mari kita jabarkan ke dalam sebuah rumus.
|V . C = O
Value mutlak, cara, outcome. Ketika VALUE (mutlak) dikalikan dengan CARA maka akan menghasilkan OUTCOME. Artinya, outcome ditentukan oleh cara yang digunakan. Jika caranya positif, maka akan menghasilkan outcome yang positif, begitupun sebaliknya. Nah, bagaimanakah cara yang tepat itu? diperoleh dengan belajar, mencari ilmu, kemampuan untuk berpikir kritis, dengan memahami kondisi dan situasi. Dengan itu, kita dapat menentukan cara yang tepat untuk mengekspresikan cinta.
Cinta itu hakikatnya memberikan rasa damai, bahagia, perasaan bersyukur. Sementara jika cinta diekspresikan dengan cara yang tidak tepat, maka akan memberikan potensi ketidakdamaian.
Cinta dapat meraih titik kesempurnaan. Ketika ada kesadaran untuk membagikan cinta, ketika kita mencintai orang lain seperti mencintai diri sendiri, ketika kita mengajak orang lain tumbuh bersama dengan menyebarkan dan mengajarkan ilmu yang didapat.
Maka dari itu, untuk membangun damai, tumbuhkan dulu cinta dalam diri. Pelajari cara mengekspresikan cinta, dengan terus belajar hingga nanti kita dapat mencapai titik kesempurnaan cinta.