Awal melihat judul PLC kali ini, waah bakalan berat nih pembahasan. Pikirku, bagaimana dua pihak yang sedang berperang berdialektika dan mencapai perdamaian abadi. Ternyata, setelah mengikutinya, narasi-narasi tentang "tidak selamanya buruk itu, buruk", "berprasangka baik pada Tuhan", dan "masalah akan membuatmu semakin kuat" terjabarkan dalam materi ini.
Saya berasal dari kota kecil, sekitar 5 jam perjalanan dari Makassar. Ketika pulang kampung, saya sering kali melalui jalur Bulu Dua atau Camba, jalur yang berkelok-kelok, menanjak, di samping kiri-kanan biasanya gunung/jurang. Suatu ketika saya berpikir, "hebatnya ini orang yang bikin jalanan disini, gunung yang dibuat jalanan". Saya tidak tahu persis bagaimana jalanan ini dibangun, namun jika ditarik ke belakang, saat penjajahan Belanda-Jepang, saya bisa membayangkan bagaimana orang-orang dulu dijajah, dipaksa membuat jalanan ini untuk memudahkan transportasi penjajah. Yah, itulah perang, yang kala itu terjadi perang dunia I dan II. Dan karena itu, orang-orang yang tinggal di Bulu Dua dan Camba bisa terjamah, hingga kini terbentuklah sebuah peradaban. Meskipun karena perang dapat mengakibatkan jatuhnya banyak korban, namun kata kak @therryalghifary , itu adalah harga yang harus dibayar untuk sebuah peradaban maju, perkembangan teknologi (misalnya senjata dan telepon), atau pemikiran strategi (perang). Jadi, tidak selamanya yang buruk itu, buruk.
Perang termasuk salah satu antagonisme manusia, yaitu pertentangan yang terjadi dalam diri manusia. Jika boleh memilih, kamu lebih mau menghabiskan hidupmu yang flat, tenang, selow, atau punya tantangan, naik-turun, tidak menentu?. Meskipun kamu memilih opsi pertama, namun percayalah, Tuhan tidak menginginkan itu. Lagi pula, kebanyakan manusia menjadi "lupa" ketika diberikan ketenangan (kesenangan) olehNya.
Antagonisme itu skenario yang dibikin Tuhan untuk manusia, yang berasal dari dalam diri manusia atau dari orang lain (kata-kata : dia ada untuk mengujimu misalnya), yang ternyata penting dan dibutuhkan oleh manusia agar ketika dia berhasil melampauinya, dia akan berkembang dan semakin kuat menghadapi kehidupan. Bukankah pelaut ulung tidak lahir dari ombak yang tenang? Disini saya berkesimpulan, masalah akan membuatmu semakin kuat. Disitulah bentuk prasangka baik kita kepada Tuhan, bahwa semua yang terjadi, baik/buruk, adalah skenario Tuhan. Hanya saja, banyak manusia yang tidak mempu menarik pelajaran dari setiap masalah hidupnya.
Dulunya saya menganggap bahwa tidak apa-apa berada di titik 0, karena tidak ada jalan lain selain naik ke 1,2,3 dst. Ternyata, di materi ini ada -1,-2,-3 dst. Itu terjadi ketika kita tidak mampu/menyerah dengan pertentangan yang dihadapi. Seperti halnya dengan pandemi ini, terjadi perubahan gaya hidup yang signifikan, kita dilarang keluar rumah setelah sekian lama selalu beraktifitas di luar, banyak yang kehilangan pekerjaan, kehilangan orang-orang tersayang, ibarat kita berada di titik 0. Ada yang terjun ke -1,-2,-3, dst dengan menyianyiakan momen ini, tidak belajar darinya, acuh, stress, depresi, hingga dapat menimbulkan pemberontakan yang merugikan banyak orang. Ada pula yang berhasil menanjak perlahan ke titik 1,2,3, dst, mengobati luka karena kehilangan, mengisi waktu dengan belajar, berbagi, saling menguatkan. Karena setelah covid 19 ini, mungkin saja ada banyak hal yang berubah. Manusia semakin maju dengan mekanisme yang baru, internet mungkin akan semakin kencang karena akan banyak pertemuan virtual, teknologi semakin canggih, kantor tidak diperlukan lagi karena telah berhasil menerapkan work from home, dan ruang-ruang pendidikan semakin besar dengan lebih banyak menerapkan kuliah jarak jauh, dan membuat beberapa hal menjadi instan.
Sebelum mengkaji tentang perang-perang skala besar yang terjadi di berbagai belahan dunia, mari kita menilik lebih dalam ke dalam diri. Sejauh mana kita berhasil melawan ego sendiri, berhasil menafsirkan pesan Tuhan melalui pertentangan itu, berhasil menjadi sebaik-baik manusia. Karena sebelum berdialektika dengan orang lain dalam lingkup antagonisme masing-masing, berdialektikalah dengan dirimu sendiri. Mungkin ini hikmah dari pandemi ini, memberikan ruang lebih dalam dan lebih luas untuk berbicara dengan diri sendiri sehingga kita dapat menuju perdamaian abadi, ketika tidak ada lagi pertentangan yang terjadi dan menyisakan pertanggungjawaban di alam yang abadi.