Pada tahun 2017 saya pernah melakukan perjalanan ke NTB sambil pengabdian. Suatu ketika di lokasi pengabdian, ada seorang warga lokal yang bertanya kepada saya, mengapa mau turun ke lapangan (kerja sosial yang turun ke masyarakat) dengan busana syar'i yg seperti ini ? Beliau bertanya begitu karena pahamnya orang-orang yg penampilannya seperti saya, jarang/tidak turun ke lapangan.
Begitulah ceritanya saya pernah jadi korban stereotype, yaitu kesalahan berpikir karena over generalisasi. Setelah refleksi, juga mengingat bahwa banyak kok senior saya yang berjilbab syar'i juga aktif di himpunan, bahkan mereka yang jadi garda terdepan untuk perempuan-perempuan di himpunan, ternyata jilbab inilah yang menghijab saya selama kerja-kerja lapangan yg saya lakukan, memberikan saya batasan bagaimana berinteraksi dengan lawan jenis, membungkus perilaku yang dibentengi oleh jilbab, bahwa ketika kita sudah menggunakan jilbab, ada beberapa hal yg seharunya membuat kita malu apabila dilakukan. Jilbab adalah identitas yang diberikan untuk setiap muslimah.
Jika materi sebelumnya membahas tentang jiwa, pertanyaannya, jika setiap kita adalah jiwa, lalu apa yang membedakan jiwa yang satu dengan jiwa lainnya ? Adalah identitas. Identitas yang membuat setiap jiwa memiliki pengalaman yang berbeda. Pengalaman itu membuat setiap jiwa berbeda dalam merespon setiap setiap hal yang terjadi.
Karena setiap orang didalamnya melekat banyak identitas, hal ini biasanya membuat banyak orang berkonflik. Seperti halnya ketika menikah. Menikah bukan hanya tentang berpindahnya tanggungjawab Ayah kepada suami. Lebih dari itu, menikah tentang meleburkan dua budaya keluarga ke dalam rumah tangga baru dan itu butuh banyak penyesuaian karena identitas masing-masing keluarga berbeda. Hal itulah yang dapat memicu timbulnya konflik. Apalagi jika keduanya tidak paham tentang keberagaman, tidak adanya respect, dan ingin menjadi yang terbaik.
Perbedaan identitas itu menyebabkan timbulnya penggeneralisasian (stereotype) dan prasangka (prejudice), menjustifikasi sesuatu sebelum mengklarifikasi.
Begitulah jalannya, ketika kita melakukan prejudice/streotype terhadap sesuatu, maka akan muncul sikap baru dan menghasilkan kepercayaan baru. Hal itu akan lebih mudah memunculkan konflik identitas, penyebab utama munculnya konflik.
Lalu bagaimana mengatasi prasangka dan penggeneralisasian? Adalah dengan melakukan dialog, mengkonfirmasi, atau mengalaminya langsung.