Seberapa sering kita mendengar atau sekadar curi dengar seseorang yang merespon dengan mengatakan "Ero’-ero’nu deh" ataukah “idi' bawang” atau “terserahmi kau”.
Sekali saya pernah mendengar seorang teman berkeluh karena jadwal ujian mejanya yang beberapa kali diundur oleh dosen pembimbingnya. Ia berkata “Whatever will be, will be lah”
Semua dari kita pasti pernah merasakan yang namanya kecewa, takut, marah, sedih, benci, muak dan semua hal-hal negatif yang sama sekali tak apa jika kita undur sejenak dari kebisingan hidup untuk merasakan emosi-emosi tersebut.
Sebagai seorang guru, saya tentu saja pernah marah pada beberapa anak di hadapanku. Saya marah karena apa yang mereka lakukan tidak menyenangkan hatiku (belakangan baru saya ketahui bahwa anak-anak tak memiliki tanggung jawab untuk hal ini) dan teman yang ia lukai. Saya mengekspresikan kemarahanku dengan memanggil namanya dengan nada yang cukup tinggi. Lalu, meminta ia berdiri di hadapanku sambil terus berceloteh hingga saya sendiripun muak dengan apa yang kukatakan saat itu. Saya terus mengeluarkan kata-kata hingga air matanya jatuh. Ia bahkan tak mampu menyeka air matanya. Apakah saya bangga? Tidak, saya sama sekali merasa buruk dengan diriku sendiri. Hingga akhirnya saya sudah tak kuat lagi, saya tak tahu harus berbuat apa, seakan semua hal yang kulakukan itu salah, salah, dan salah.
Anakku kecewa. Aku seribu kali lebih kecewa.
Hingga akhirnya ia berkata “saya tidak sukaki ustadzah”
Ia berkata hal tsb saat menemani muridku menunggu jemputannya di aula sekolah. Mendengarnya berkata seperti itu, saya memilih meninggalkan mereka dan beranjak ke kamar mandi. Saya memutar keran air dan menangis. Saya memang berlebihan. Hingga hari-hari berikutnya saya merasa ia membangun ‘barrier’ jika berhadapan dengan saya.
Ketika bertemu dengannya, saya merasa canggung. Setiap pulang sekolah, tiap anak akan berbaris lalu memeluk kami setelah itu keluar dari kelas, tiba gilirannya, Fulan memeluk namun sangat kaku. Saya sedih.
Saya tak ingin hal ini terus berlanjut. Saya sadar jika Fulan ini lebih aktif dibanding anak seusianya, saya bertanya pada rekan sejawat hingga ke kepala sekolahku tentang apa yang bisa saya lakukan. Beberapa berkata “Coba mki ajak bicaraki hal yang ia suka apa? Tanya-tanyaki tentang orang rumahnya? Pagi tadi dia sarapan apa?”. Saya mencoba semuanya. Hingga akhirnya saya belajar cara-cara bertanya untuk mencapai tujuan di TFPF awal Januari tahun 2020. Saya banyak belajar dari kegiatan tersebut.
Sekarang tiap ada laporan tentang muridku, saya awali dengan “Coba cerita sama ustadzah, ada apa ini? Jujur ya, tahu toh ustadzah tidak suka anak-anak yang bohong” “Kenapa bisa begitu?” “Coba liat itu temannya nangis, kalau temannya nangis itu tandanya sakit atau tidak?” “Lain kali kalau diulang lagi, ustadzah apakanki?” “Sekarang minta maaf sama temannya, lihat matanya, minta maaf karena apa? Lain kali Fulan ulangi lagi?”
Sedangkan dahulu, jika Ia bermasalah partnertku dan saya akan saling bertatapan hingga salah satunya berkata “Kitami ustadzah (re: yang tanganiki)”
Beberapa bulan ini, Fulan tak lagi berbuat onar sesering semester satu. Bahkan, partnertku pernah berkata “Ih masyaAllahnya Fulan, berubahmi” Ia pun mulai menceritakan apa-apa yang ia alami di rumahnya, pengalaman apa yang pernah ia rasakan saat saya bertanya tentang sesuatu yang berkaitan dengan hal tsb, bahkan ia tak sengaja memanggilku “Ibuuu” hingga akhirnya ia sadar dan berkata “eh ustadzah”.
Jika dihadapkan disituasi yang pelik, saya bertanya pada diriku sendiri “Are the things I think are important really important?” Dan jawabannya akan berpengaruh terhadap sikap apa yang akan kulakukan.