Pelajaran hidup tentang kehilangan orang yang sangat amat saya cintai.
oleh Elok Nur Latifah
Halo, Saya Elok Nur Latifah. Orang-orang terdekat saya biasa memanggil saya ‘Ook’. Nama panggilan ini tercipta sejak saya masih kecil, diciptakan langsung oleh balita-balita dan anak-anak kecil pasien Mama saya yang berobat ataupun imunisasi. Saya lahir di Kabupaten Mojokerto, kota yang kecil, tapi penuh dengan pembelajaran dan sejuta kenangan. Setiap pulang ke Mojokerto, ada tiga tempat yang tidak pernah terlewatkan yaitu, rumah masa kecil, rumah dinas, dan rumah sesungguhnya, yaitu pemakaman Mama.
Sejak kecil, Mama selalu membawa saya menemui banyak orang, mulai dari teman-temannya, sahabatnya, pasien-pasiennya, budaya keluarga besar Ayah, sampai mengenalkan saya tentang berbagai macam penyakit. Tidak hanya itu, Mama juga selalu memanggil saya ketika ada pasiennya yang membutuhkan kasih sayang mulai dari adik-adik yatim piatu, sampai anak remaja yang terinfeksi HIV AIDS dan penyakit lainnya yang membuat mereka merasa rendah diri. Tak pernah terlewatkan, Mama selalu memintaku untuk mengajaknya bermain, nonton film, ngobrol, dan memeluknya. Mama selalu mengajarkan saya tentang kepedulian serta memutus stigma, dan tidak mengucilkan mereka.
Maka dari itu, bagi saya Mojokerto adalah tempat saya belajar, bertumbuh, serta memahami keberagaman. Saya baru menyadari ternyata Mama sudah mengajarkan saya tentang keberagaman sejak kecil. Semakin tumbuh dan semakin tertarik sampai akhirnya saya memutuskan untuk mengambil jurusan Sosiologi di Universitas Brawijaya Malang. Tapi, ternyata jalannya tidak semudah itu, saya harus menerima kegagalan dan penolakan di SNMPTN dan SBMPTN. Penolakan tentu tidak semudah itu bisa diterima, meskipun saya tetap keukeuh dan mencoba lagi di jalur Mandiri UB.
Seminggu sebelum tes berlangsung, saya juga menemani Mama di pengadilan, menjadi saksi sidang perceraian Mama dan Ayah, tentu hal ini tidak bisa dihindari. Ada momen di pengadilan yang tidak pernah saya lupakan. Ketika Pak Hakim memanggil, saya sudah gemetar hebat, ternyata pertanyaannya di luar ekspektasi saya.
Pak Hakim bertanya, “Ini Elok Nur Latifah, anak ketiga Mama dan Ayah, benar?”
“Iya, benar, Pak”
“Saya dengar baru lulus SMA, wah selamat! Rencana mau lanjut ke mana?”
Saya kembali menjawab, “Di Universitas Brawijaya biar sama kayak kakak.”
“Wiiii, keren sekali! Anak saya juga di Universitas Brawijaya, loh, kamu mau ambil jurusan apa?”
“Sosiologi, tapi di SBMPTN dan SNMPTN saya belum lolos, minggu depan mau tes Jalur Mandirinya, Pak.”
Kemudian Pak Hakim mengakhiri obrolan dengan kalimat yang sangat menakjubkan, beliau bilang “Waaaa bagus itu Sosiologi! Kamu harus semangat, ya! Kalau nggak salah di Sosiologi ada mata kuliah namanya Sosiologi Hukum, Sosiologi Keluarga. Nah, nanti kalau sudah dapat ilmunya, jangan lupa, ya, diterapin ke Mama dan Ayahnya. Tidak terasa air mata saya mengalir deras, kemudian Pak Hakim berjalan ke arah saya dan memeluk saya. Sejak saat itu, saya benar-benar cinta keberagaman.
Setelah saya lulus dari Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya, saya bertemu babak baru, babak yang tidak pernah saya rencanakan, tidak pernah sedikit pun saya menginginkannya. Tapi Tuhan sudah menggariskannya, sudah merencanakannya, yaitu babak kehilangan. Pelajaran hidup tentang kehilangan orang yang sangat amat saya cintai. Mama saya. Dunia serasa runtuh, hancur lebur.
Tapi hidup harus tetap terus berjalan, bukan?
Dalam perjalanan menemukan kedamaian, lewat tangan Tuhan saya bertemu Kita Bhinneka, Guardians of Peace. Di sini saya belajar apa itu damai? Apa itu keberagaman? Apa itu kepemimpinan? Setiap sesi dan kelasnya membuat saya semangat, tapi juga ketakutan, karena di sini saya harus menceritakan dan membuka luka-luka lama, tak jarang saya terbata-bata dalam sesi bercerita. Ini tidak mudah, tapi Kita Bhinneka selalu hadir untuk mengupayakan kedamaian dengan berbagai cara.
Di Guardians Of Peace saya bertemu banyak orang keren, mulai dari pendidik, seorang ibu, remaja, mahasiswa, sampai pendiri komunitas, serta ras, suku, agama, dan budaya yang berbeda. Begitu juga pengalaman hidup yang tentunya berbeda dan sangat amat luar biasa. Saya merasa tidak sendirian, saya mendapatkan energi di sini, mendapatkan motivasi. Ternyata Guardians of Peace tidak hanya mengajarkan kedamaian dan kepemimpinan. Lebih dari itu, Guardians of Peace mengajarkan banyak hal. Tentu ujungnya memaknai benar-benar apa prinsip dan nilai hidup dalam membentuk kedamaian.
Jika ada yang bertanya, ‘apakah di Guardians of Peace ada drama?’ tentu saya akan menjawab “Tentu tidak!” Selain drama tentang diri sendiri, yang ternyata menanamkan nilai dan prinsip itu adalah pelajaran seumur hidup yaaa. Untuk konsisten aaaaa sangat sulit, makanya harus belajar terus melalui aksi. Saya senang aksi kali ini, Peace Project, dilakukan secara offline. Di sini drama benar- benar dimulai, sulitnya mencari waktu yang pas untuk meeting dan mengumpulkan anggota karena berbeda pulau, terkadang sudah terkumpul, tapi ada yang harus turun pergi ke kota untuk mencari sinyal, dan beberapa anggota yang memiliki kesibukan kuliah dan bekerja. Susahnya mencari panti tempat yang nantinya digunakan untuk aksi. Tapi Kak Ferina selalu mengingatkan bahwa tidak perlu fokus dengan kendala, tapi fokus bagaimana cara menyelesaikannya dan akhirnya H-7 kegiatan, semua masalah makanan, panti, tempat tinggal sudah selesai.
Saat aksi di panti, saya bertemu dengan seorang anak berkebutuhan khusus, dia terlihat berbeda dari yang lain. Saya mengamatinya dari jauh. Saya menemukan kemiripan dengan adik tersebut dengan saya: dia menyukai kucing! Dia tampak asyik bermain dengan kucing kesayangannya, sambil membawa toples berisi makanan kucing di tangan kirinya. Saya terus mengamatinya, tak jarang dia membawa kucingnya ke halaman panti dan ke dapur. Aaaa dia juga suka bermain es batu di lemari es! Saya gemas, kemudian saya menemuinya dengan membawakan kucingnya yang lari ke halaman. Saya mencoba mendekatinya dan mengajaknya duduk sambal mengelus kucing kesayangannya, terus saya mengajaknya meletakkan satu tangan di dadanya, tangan satunya lagi saya pegang kemudian saya berbisik kepadanya “Aku sayang kamu, aku mau jadi teman kamu. Kamu sekarang aman dengan kakak. Jangan takut.” Dia terus memandangi saya dengan tersenyum, kemudian adik tersebut kembali lari ke dapur mengejar kucing kesayangannya.